Selasa, 06 Maret 2012

PMA Mineral dan Batubara Wajib Divestasi 51% Saham ke Peserta Indonesia

Untuk memberikan kesempatan lebih besar kepada peserta Indonesia dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 mewajibkan perusahaan penanaman modal asing (PMA) pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) melakukan divestasi sahamnya secara bertahap paling sedikit 51 % kepada peserta Indonesia. Divestasi harus dilakukan setelah 5 (lima) tahun hingga tahun kesepuluh sejak PMA IUP dan IUPK berproduksi.

Dalam ketentuan yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tanggal 21 Februari itu disebutkan, yang dimaksud dengan peserta Indonesia itu adalah pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional.

“Penawaran saham sebagaimana dimaksud dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 90 (Sembilan puluh) hari kalender sejak 5 (lima) tahun dikeluarkannya izin Operasi Produksi tahap penambangan,” bunyi Pasal 97 Ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012

Ketentuan tentang divestasi bagi PMA tambang mineral dan batubara ini berbeda jauh dengan ketentuan yang tertuang sebelumnya dalam PP. Nomor 23 Tahun 2010, yang hanya mewajiban PMA Tambang Mineral dan Batubara melakukan divestasi 20% saja dari seluruh saha.

Dalam PP Nomor 24 Tahun 2012 yang merupakan perubahan atas PP. Nomor 23 Tahun 2010 itu tidak disebutkan secara langsung jenis usaha tambang yang diwajibkan melakukan divestasi saham kepada peserta Indonesia. Namun mengacu kepada PP Nomor 23 Tahun 2010 Pasal 2 Ayat 2 disebutkan, bahwa pertambangan mineral dan batubara dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang, yaitu:

  1. Mineral radioaktif meliputi radium, thorium, uranium, monasit, dan bahan galian radioaktif lainnya;
  2. Mineral logam di antaranya emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, platina, kalium, kalsium, bauksit, titanium, besi, air raksa, dsb;
  3. Mineral bukan logam di antaranya intan, pasir kuarsa, yodium, fosfat, belerang, asbes, batu gamping untuk semen, gypsum, batu kuarsa, dsb;
  4. Batuan di antaranya marmer, tanah serap, andesit, batu apung, sirtu, pasir urug, Kristal kuarsa, giok, pasir laut, tanah merah, batu gunung besar, onik, dsb;
  5. Batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut.

PP Nomor 24 Tahun 2012 ini juga memuat tahapan divestasi bagi PMA pemegang IUP dan IUPK, yaitu:

  1. Tahun keenam 20% (dua puluh persen);
  2. Tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen);
  3. Tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen);
  4. Tahun kesembilan 44% (empat puluh empat persen);
  5. Tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah seluruh saham.

PP ini juga menjelaskan, pengalihan saham PMA tambang mineral dan batubara dilakukan secara berurutan kepada pemerintah pusat terlebih dahulu. Jika pemerintah tidak bersedia membeli saham dimaksud, maka ditawarkan kepada pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota. Jika pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota tidak bersedia, maka ditawarkan kepada BUMN dan BUMD dengan cara lelang.

“Apabila BUMN dan BUMN tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional dengan cara lelang,” bunyi Pasal 97 Ayat 5 PP Nomor 24 Tahun 2012.

BUMN ke BUMN

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 ini juga mengatur pengalihan produksi IUP dan IUPK yang dimiliki oleh BUMN. Dalam pasal 7B disebutkan, bahwa sebagian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khuus (WIUPK) dapat dialihkan kepada pihak lain yang 51% (lima puluh satu persen) atau lebih sahamnya dimiliki oleh BUMN pemegang IUP dan IUPK.

“Pengalihan sebagian WIU atau WIUPK Operasi Produksi dilakukan dengan persetujuan menteri,” bunyi Pasal 7B ayat 3 PP. Nomor 24 itu.

Pasal 7A PP. Nomor 24 Tahun 2012 ini juga menegaskan, bahwa pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memintahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain, yakni badan usaha yang 51% (lima puluh satu persen) atau lebih sahamnya tidak dimiliki oleh pemegang IUP atau IUPK.

(Pusdatin, ES)


Pengeluaran IUP Tambang Akan Dilelang

Amir Sarifudin - Okezone

BALIKPAPAN - Pemerintah akan menata pengaturan pertambangan di Indonesia. Pengaturan akan diawali dengan penegasan penataan wilayah provinsi dan kabupaten yang memiliki daerah potensi cadangan batu bara.

Selain itu, dampak buruk dari penerapan desentralisasi adalah kewenangan penuh dari bupati/wali kota mengeluarkan ijin Usaha pertambangan (IUP). Namun kontrol pengaturanya dan pengawasan dianggap lemah.

"Praktek tambang itu ngaco karena desentralisasi. Saya tidak bilang desentralisasi buruk tapi kalau praktik pertambangan, tidak benar. Pertama harus satu wilayah harus dikelola satu yang bertanggung jawab kedua adalah lelang. Kalau tidak dilelang ya perusahaan bukan tambang urus tambang, pastingaco,” kata Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo saat seminar Masa Depan Tambang dan Lingkungan yang diselenggarkan Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Kota Balikpapan, di Hotel Gran Tiga.

“Nantinya yang melelang bupati, yang menentukan wilayahnya ada Kementerian ESDM. Supaya satu wilayah enggak ditawari ke banyak orang. Kalau banyak siapa yang bertanggung jawab,” sambungnya.

Menurut pria yang akrab di sapa Pak Wid, SDA merupakan milik negara dan masyarakat karena itu pengelolaan tambang di satu wilayah tidak bisa dilakukan secara keroyokan. Karena satu pengelola harus bertanggunjawab terhadap area yang ditambang. Selain itu perusahaan dan pemda harus meminta ijin kepada masyarakat yang tinggal di daerah itu.

"Itu praktik pertambangan yang benar,” ujarnya.

Karena itu lelang izin tambang harus pula diterapkan sebagai prinsip untuk pemanfaatan bagi semua pihak.

"Lelang itukan berjanji bahwa SDA dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Harus jamin keuntungan untuk dia, juga jamin keuntungan buat negara, jaminan lingkungan dan jaminan keuntungan bagi masyarakat sekitarnya ikut menikmati manfaatnya,” jelasnya.

Pembenahan tambang bukan hal yang terlambat karena langkah perbaikan pasti akan mendapat dukungan banyak pihak, termasuk masyarakat dan LSM.

"Tidak ada yang terlambat, zaman jahiliyah saja bisa jadi bagus. Masyarakat harus proaktif, informasi dari masyarakat lebih akurat. Seperti bupati Bima tadinya kan seenaknya, begitu masyaraka proteseh dia minta tolong ke Kementerian ESDM padahal yang kasih izin dia. Dengan adanya koreksi masyarakat, maka pemimpinnya tidak bisa berbuat seenaknya,” terangnya. (wdi)